IDA I DEWA AGUNG ISTRI KANYA Bagian 1 –
Pejuang Wanita Melawan Kolonialisme Belanda Di Klungkung
Oleh:
A. A. Bagus Wirawan
Ida Bagus Sidemen
Ida Bagus Rama
I Made Sudhjana
Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Klungkung
1993
PROLOG
1.1.Kekuasaan Dan Kepemimpinan
Konsep kekuasaan mempunyai banyak dimensi yang perlu dikaji atau diberi penjelasan. Pelbagai dimensi yang dimaksud berasal dari pandangan yang berbeda-beda dari para pakar ilmu sosial.Kekuasaan dikaji dari dimensi kemampuan untuk mempengaruhi antara dua pelaku. Kekuasaan dikaitkan juga dengan kemampuan untuk menetapkan alternatif-alternatif antara dua pelaku. Kekuasaan adalah kemampuan untuk mengadakan sanksi atau ganjaran antara pelaku-pelakunya. Bentuk lunak atau khusus dari kekuasaan adalah pengaruh atau kemampuan mempegaruhi antara pelaku. Selain itu sumber kekuasaan dapat berupa kedudukan, kekayaan, kepercayaan dan agama. Di bagianlain, M. Budiardjo menjelaskan bahwa konsep yang terkait dengan kekuasaan yaitu wewenang atau otoritas (autohority) dan keabsahan atau legitimasi (legitimacy). Akan tetapi menurut Koentjaraningrat lebih menekankan pada arti wibawa untuk konsep authority dan wewenang untuk konsep legitimacy. Konsep otoritas dibagi lagi menjad itiga macam menurut Max Weber yaitu: otoritas tradisional, otoritas kharismatik, dan otoritas legalrasional.
Konsep kepemimpinan sesungguhnya terkait dengan pelbagai konteks sosial dan politik terutama untuk menggambarkan kedudukan serta peranannya dalam masyarakat tradisonal. Gejala kepemimpinan terdapat baik dalam komunitas kecel, tradisional maupun dalam suatu bangsa. Gejala kepemimpinan terdapat dalam sistem sosial yaitu dalam interrelasi antara unsur-unsur sosial ada pihak yang dipengaruhi dan diarahkan. Sesungguhnya dalam proses interrelasi tersebut dapat diamati dan dianalisa dimensi-dimensi kepemimpinan yaitu status dan peranan, kekuasaan, pengaruh dan otoritas, personalitas, fungsi, nilai-nilai sosial kultural dan situasi. Kepemimpinan adalah pertemuan antara pelbagai faktor yaitu: sifat golongannya, kepribadian,dan situasi atau peristiwa-peristiwa yang mengintarinya. Pelbagai dimensi danf aktor-faktor dari konsep kepemimpinan yang telah terurai di atas dipakai menyoroti sejauh mana ada relevansinya terhadap kekuasaan dan kepemimpinan seorang tokoh wanitaI da I Dewa Agung Istri Kanya, di kraton Semarapura, Klungkung, pada pertengahan abad ke-19.
Dalan komunitas negara tradisional sepert negara kerajaan Klungkung, struktur kekuasaan berkaitan erat dengan sistem religi. Sistem sosial sebagai sub-sistem dari sistem kosmis-magis berdasarkan prinsip-prinsip religius, dan kekuasaan bersumber pada kekuatan supernatural. Penguasa atau pemimpin dalam komunitas tersebut memegang kekuasaan yang dualistik yaitu kekuasaan duniawi dan kekuasaan rokhaniah. Keduanya manunggal di satut angan.raja sekaligus pendeta tertinggi atau Dewan Kerajaan. Dengan perantaraan ritualisme dan serenonialisme nilai-nilai diwujudkan. Simbol-simbol otoritas memperkokoh penciptaan realitas yang mengembalikan semua otoritas kepada otoritas supernatural. Setiap pembentukan kekuasaan baru dalam komunitas tradisional memerlukan mitologisasi kekuasaan itu untuk membenarkan eksistensinya di mata rakyatnya.
Konsep kekuasan dan kepemimpinan tradisional terutama mengenai raja, tugas dan kewajiban raja, sifat dan otak seorang raja dapat diketahui atau bersumber dari naskah-naskah sastra kuna di Jawa.. Seperti Nitisastra, kakawin Ramayana. Dalam buku-buku kuno tersebut diajarkan pedoman mengenai kekuasaan dan kepemimpinan raja. sangat terkenal konsep Jawa mengenai kekuasaan yang berdimensi empat yang sesuai dengan konsep dalam pewayangan yaitu: sakti, mandraguna, mukti dan wibawa. Sakti mandraguna menunjukkan kepada kecakapan, kemampuan atau ketrampilan dalam satu atau beberapa bidang, antra laino leh senjata, kesenian, pengetahuan. Mukti lebih berhubungan dengan kedudukan yang penuh kesejahteraan. Wibawa berarti kedudukan terpandang yang membawa pengaruh besar. Mengenai watak dan tabiat seseorang raja telah disebutkan dalam Nitisastra, yaitu: raja harus tahu mana-mana yang berguna harus gagah berani dan hempunyai keyakinan dapat mencapai sesuatu yang halal serta layak, raja harus meninggalkan apa-apa yang tidak berguna.
Sistem kepemimpinan kerajaan sesungguhnya menggunakan konsep-konsep relegi dan cara-cara keagamaan untuk memaksakan keseragaman orientasi pada segenap warga
Negara kerajaannya. Dengan demikian, kontinuitas kepemimpinan kerajaan yang berdasarkan wewenang keturunan harus dikuatkan lagi dengan keyakinan bahwa garis keturanan dapat ditarik lebih jauh lagi kepada dewa-dewa. Selain merupakan wewenang yang kuat maka ditambah lagi dengan wewenang keramat. Untuk memperkuat sifat-sifat keramatnya maka seorang raja dianggap memiliki wahyu dari dewa dan memiliki suatu kekuatan sakti.
Sifat-sifat keramat dan sakti itu perlu dijaga kemantapannya secara kontinyu dengan pelbagai upacara kraton. Pada upacara kraton itu, benda-benda pusaka kerajaan yang keramat mendapat fungsi penting. Kewibawaan seorang raja diperoleh dengan bersikap dan berbuat sesuai dengan keyakinan-keyakinan yang dianut oleh sebagian besar warga masyarakat. Menurut konsep Jawa, seorang raja harus bersikap adil (adil tan pilih sih), berhati murah (berbudi) dan bijaksana (wicaksana). Secara singkat, Koentjaraningrat menyimpulkan bahwa komponen-komponen yang melandasi kekuasaan seorang raja yang bersifat negara kerajaan ialah kharisma, wewenang, kekuasaán dalam arti khusus serta sifat-sifat yang memancarkan kewibawaan. Beberapa sifat atau komponen-omponen kekuasaan menurut konsep Jawa mempunyai kemiripan untuk menjelaskan kekuasaan dan kepemimpinan menurut konsep Bali, khususnya kepemimpinan Ida I Dewa Agung Istri Kanya di kerajaan Klungkung pada pertengahan abad ke-19.
Bagai sifat dan watak tokoh wanita Ida I DewaAgung Istri Kanya pada masa idupnya mengacu dan sesuai dengan konsep Jawa mengenai kekuasaan dan kepemimpinan yang berdimensi empat: sakti -mandraguna, mukti-wibawa. Landasan lainnya antara lain: Nitisastra, konsep religi, memiliki kharisma, wewenang, dan lain-lain.
1.2. Sejarah Perang
Pembahasan tentang sejarah perang tidak dapat dilepaskan dengan proses perkembangan historiogarfi. Tema perang dalam historiografi sesungguhnya sudah dikenal sejak lama yaitu sejak kehadiran karya-karya monumental dari Herodotus yang berjudul Perang Parsi dan Thucydides yang berjudul Perang peloponesia pada zaman Yunani terutama pada abad ke-5 sebelum Masehi. Tema perang, diplomasi dan aktivitas politik lainnya yang mempengaruhi proses sejarah. Karya sejarah seperti itu lebih menonjolkan proses dan tokoh politik serta penggambarannya sebagai tulisan deskriptif-naratif. Lagi pula, adanya pandangan terhadap konflik yang terjadi pada periode Yunani itu, menyebabkan penulisan sejarah perang pada masa itu bersifat mitos dan epos, Sifat-sifat penulisan sejarah seperti itu memberikan petunjuk yang menguntungkan dalam usaha menghasilkan bentuk karya sejarah perang yang bersifat deskriptik-analitik seperti yang diupayakan pada periode kemudian.
Penggunaan sumber-sumber yang berhubungan dengan diplomasi perang telah memberi ciri terhadap penulisan sejarah pada pada abad ke 18. Gambaran peristiwany hanya terbatas pada sebab-sebab terjadinya operasi militer dan usaha ke arah perdamaian kembali. Ciri historigrafi yang dihasilkan oleh G. Scharnhorst (1797) pada akhir perkembangan zaman pencerahan ialah sebuah karya sejarah perang yang berjudul Perang Koalisi I. Masalah yang dibahas dalam karyanya ialah timbulnya revolusi, institusi militer dan komandonya, klas penguasanya, sarana dan fasilitas perang, dan sarana fasilitas perang, dan lain-lain.
Karya Carl Von Clausewitz yang berjudul Perang 30 Tahun yang ditulis tahun 1803-1805. Menurutnya, perang bukan merupakan masalah politik yang konstan tetapi dipengaruhi juga oleh kondisi-kondisi ekonomi, teknologi, agama serta unsur kejiwaannya. Setiap perang merupakan refleksi dari zaman dan lingkungan yang mengintarinya.
Pater Paret dalam srtikelnya tentang ”SejarahPerang” , mengemukakan pendapatnya, bahwa perang merupakan suatu permasalahan penting dalam analisis sejarah dan merupakan bagian penting sejarah politik. Oleh karena itu, perlu diketahui bahwa ada beberapa karakteristik dalam sejarah perang seperti yang pernah ditulis oleh K.van der Maaten, yaitu: perang besar, perang kecil, perang rakyat atau perang gerilya dan perang partisan.
Karakteristik perang dalam Sejarah Indonesia oleh seharawan T. Ibrahim Alfian, dalam karyanya yang berjudul Perang Di Jalan Allah: Perang Aceh 1873-1912, terbit tahun 1987. Dijelaskan bahwa ada beberapa karakteristik perang yaitu: perang besar, perang kecil, perang partisan dan perang rakyat atau perang gerilya. Akan tetapi, menurut sumber lokal yaitu hikayat Perang Sabil, perlawanan rakyat Aceh terhadap tentara Belanda lainnya merekas ebut Perang sabil, Perang Belanda, Perang Kompeni,Perang Kafic.
Pemberian nama atau sebutan perang yang yang terjadi rupanya diklasifikasikan berdasarkan persepsi dan tempat, perang itu terjadi, Oleh karena itu dibuat enamk lasifikasi nama perangg yaitu: (1) perang yang terjadi atas dasar semangat atau ideologi yang menggerakkannya. Contohnya Perang Sabil, Perang Jihad, Perang Puputan; (2)perang yang terjadi atas dasar tempat peristiwa perang berlangsung, contohnya: Perang Afganistan, Perang Teluk, Perang Jagaraga, Perang Kusamba; (3) Perang yang terjadi atas dasar penonjolan tokoh, contohnya Perang Diponogoro, Perang Antasari; (4) perang yang terjadi atas dasar waktu lamanya peristiwa berlangsung, contohnya Perang 30 Tahun, Perang 80 Tahun; (5) Perang yang terjadi atas dasar jenis senjata yang dipergunakan, contohnya Perang Nuklir; (6) Perang yang terjadi atas dasar penonjolan suku yang menggerakkan perang itu, contohnya Perang Kurdi, Perang Padri.
Karakteristik atau klasifikasi dalam konsep perang penting artinya selama periode kolonial di Indonesia. Perang-perang kolonial selama periode kolonial di Indonesia didasarkan atas visi kolonial telah mendapat respons di kalangan sejarawan Indonesia yang mendalami masalah-masalah yang terkait dengan sejarah perang berdasarkan visi Indonesia sentris. Visi Indonesia sentris dalam penulisan sejarah perang lebih membuka pelbagai aspek dari perang itu sendiri. Aspek-aspek yang disoroti dan dijelaskan dari perang meliputi: organisasi intern, ideologi dan keinginan tokoh-tokohnya, kepribadian mereka, latar belakang sosiokultural masyarakat dan pemim-pin-pemimpinnya. Semua aspek yang dijelaskan sesungguhnya ditujukan untuk memperoleh gambaran realitas historis yang utuh berdasarkan sumber-sumber baik dari pemerintah Hindia Belanda maupun dari pribumi. Sesungguhnya kemajuan-kemajuan di atas sejalan dengan pendapat C. Von Clausewitz yang menyatakan bahwa, penulisan sejarah perang tidak hanya dipandang dari aspek politik semata, tetapi menyangkut pula aspek-aspek ekonomi, sosial, agama dan aspek-aspek lainnya.
1.3. Nilai-Nilai Kepahlawanan
Pepatah kuno yang tetap aktual jika disimak atau tetap benar dan bermakna jika direnungkan yaitu “manusia mati menginggalkan nama”. Dengan kata lain dapat dikata-kan bahwa manusia tidak hanya terlibat dengan waktunya tetapi juga dengan waktu yang melewati dirinya. Dimensi waktu yang melewati dirinya itulah sesungguhnya yang menyebabkan arti hidupnya masih dinilai jauh setelah satelah tiada di dunia. Semakin ia berperan sebagai aktor sejarah, dalam arti bahwa perbuatan dan aktivitasnya dicatat dan dikenang, semakin ia terkena oleh tirani waktu itu. Si aktor seakan-akan dipaksa untuk terus menerus mengulangi peranannya. Mengulangi, karena kepadanya akan senantiasa pula berganti. Semakin keras tirani waktu melekat pada diri aktor, semakin jauhlah dirinya mengalami transformasi.
Ida I Dewa Agung Istri Kanya waktu hidupnya adalah seorang wanita besi menurut julukan yang diberikan oleh birokrat kolonial Belanda di Batavia. Berkat kepemimpinannya, perang Kusamba di kerajaan Klungkung berakhir, dengan tewasnya panglima ekspedisi militer Hindia Belanda yaitu Jenderal Michiels pada tanggal 25 Mei 1849. Meskipun telah dilakukan koalisi antar kerajaan-kerajaan Bali melawan agresi ekspedisi militer Hindia Belanda pada peristiva Perang Kusamba mengalami kekalahan di pihakl askar kerajaan, tetapi ditebus dengan tewasnya Jenderal Michiels selaku panglima ekspedisi.
Sesungguhnya peranan diplomat wanita sangat menonjol paling tidak sampai kurun waktu pertengahan abad ke-19. Prinsip-prinsip dan cita-cita Dewa Agung Istri Kanya punya peranan penting dalam menyatukan kedelapan kerjaan lewat perjanjian-perjanjian (paswara asta negara) dibawah Dewa Agung di Klungkung sebagai sesuhunan di atas pulau Bali dan Lombok.
Selain berperan dalam bidang diplomasi politik yang ditandai dengan pembentukan koalisi dan kerjasama antara kerajaan-kerajaan, peranannya dalam bidang satra kidung juga sangat menonjol pada zamannya. Dewa Agung Istri Kanya adalah seorang tokoh wanita penggubah beberapa kidung seperti Kidung Paden Warak, pralambang Bhasa Wawatekan yang sangat terkenal itu sebagai karya sastra yang menggambarkan realitas kehidupuan di kraton Semarapura pada abad ke-19.
Berdasarkan gambaran realitas peranan dalam bidang yang telah terurai di atas maka dapat dikatakan bahwaDewa Agung Istri Kanya adalah seorang wanita yang tidak hanya harus bergumul dengan lingkungan dan nasibnya tetapi juga dengan penulisan historis, dengan waktu, ketika ia telah tiada, ketika ia telah tiada, ketika generasi penerusnya sedang mencari makna untuk diteladani pada waktu kekiniannya. Kekinian yang ditandai dengan perjuangan mengisi kemerdekaan, khususnya dalam era pembangunan nasional.
Dengan mendalami dialog antara subyek yaitu si aktor dan penilaian historis dari tokoh wanita Dewa Agung Istri Kanya, maka gambaran dan rekonstruksi yang akan dibuat akan mengemukakan beberapa masalah antara lain bagaimana Dewa Agung Istri Kanya sebagai seorang tokoh wanita mencoba mengatasi hambatan-hambatan politik,
Sosial, ekonomi, budaya atau psikolog yang mengitari dirinya? Apa yang dicita-citakan oleh tokoh wanita ini? Apa yang dikerjakan atau diperbuatnya? Bagaimana ia melakukannya? Seberapa jauh sukses yang dicapainya atau kegagalan yang menimpanya bagi perjuangannya? Bagaimana titik pandang kekinian, generasi sekarang, berhak mengajukan interpretasi berdasarkan pertimbangan terutama sosial politik yang mempengaruhi dasar penilaian historis?
Pertanyaan terakhir akan membawa konsekwensi pada sejauh mana perubahan sosial politik, terutama politk kekuasaan, secara berdasar dapat mengubah asumsi kultural dari penilaian historis. Jelek atau baik adalah masalah etik, posisinya bisa silih berganti, sesuai dengan pergantian kekuasaan atau orientasi ideologisnya. Wanita besi, wanita pembangkang dan pemberontak terhadap kekuasaan yang syah bisa dinilai baik atau jelek, tergantung dari sudut pandangan atau visi sikap terhadap kekuasaan yang syah itu sekarang. Akan tetapi kedua penilaian itu sebenarnya bersumber dari dasar konseptual yang sama yaitu kekuasaan dipakai sebagai kriterium. Oleh karena itu, wajar apabila penilaian terhadap peranan Dewa Agung Istri Kanya, seorang tokoh wanita besi, wanita pembangkang sangat jelek berdasarksn visi Nerlandosentris dengan kekuasaan kolonialnya. Akan tetapi, bagi generasi sekarang, wajar pula untuk memberikan penilaian historis terhadap Dewa Agung Istri Kanya seorang tokoh wanita besi, wanita pembangkang terhadap dominasi politik kekuasaan kolonial. Oleh karena itu ia adalah pahlawan yang baik berdasarkan visi Indonesia sentris dengan kekuasaan negara kesatuan Republik Indonesia. Nilai-nilai kepahlawanannya tampak pada sifat-sifat heroik dan patriotik, rela berkorban dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha esa. Sifat-sifat ini adalah ciri umum dari para pahlawan yang berjuang melawan kekuasaan kolonial Belanda selam periode mencapai kemerdekaan terutama sejak abad ke-17 sampai abad ke-20.
1.4. Profil Wanita Besi dan Wanita Rakawi
Kehadiran seorang tokoh wanita di kerajaan Klungkung pada pertengahan abad ke-19 semakin jelas menampakkan sosoknya berdasarkan sumber-sumber, baik dari sumber yang berasal dari arsip-arsip kolonial maupun sumber lokal tradisional. Jelas tampak bentuk aktivitas dan gerakan yang dilakukan masih terbatas pada gerakan orang perorangan atau belum tersusun dalam bentuk organisasi seperti yang terjadi pada dasawarsa pertama abad ke-20. Ada beberapa tokoh wanita sebagai pendekar dalam menentang kekuasaan kolonial di Hindia Belanda seperti Martha Christina Tiahahu dari Maluku, Cut Nyak Dien dan Cut Nyak Meutia dari Aceh. Mereka ikut berjuang memimpin laskar rakyat Maluku dan Aceh berperang melawan ekspedisi agresi militer kolonial Belanda. Dalam perjuangan perlawanannya, masing-masing tokoh memiliki kekhasan atau profil sendiri-sendiri. M.C. Tiahahu ikut berperang melawan tentara kolonial dalam perang Maluku tahun 1817. Dia tertangkap dan dihukum buang ke Jawa. Dalam pelayaran menuju daerah buangan dia wafat.
Cut Nyak Dien ikut suaminya yang pertama : Ibrahim, berjuang berperang melawan tentara kolonial Belanda dalam Perang Aceh (1873-1912). Oleh karena itu suami pertamanya gugur dalam peperangan pada 29 Juni 1912 maka Cut Nyak Dien melanjutkan perlawanannya bersama suaminya yang kedua yaitu Teuku Umar yang juga gugur dalam peperangan pada tanggal 11 Pebruari 1899. Cut Nyak Dien dipenjarakan dan kemudian dibuang ke Sumedang sampai dia wafat pada tanggal 6 Nopember 1908.
Cut Meutia berjuang bersama suaminya Teuku Muhammad dengan gerilya melawan pasukan kolonial Belanda di Aceh. Dia gugur dalam perang melawan tentara kolonial . Belanda pada tanggal 24 Oktober 1910.
Dari contoh-contoh di atas sebagai perbandingan untuk menyoroti perjuangan yang dilakukan Dewa Agung Istri Kanya dalam Perang Kusamba tahun 1849 maka kekhasan yang dia miliki adalah berani, keras kepala dan pantang menyerah. Dari sifat dan sikap yang dimiliki itu maka Dewa Agung Istri Kanya oleh pihak birokrat kolonial diberi julukan wanita besi yaitu wanita atau saudara perempuan Dewa Agung, raja Klungkung, yang tetap ingin berperang dan tidak mau berdamai dengan pihak kolonial Belanda. Oleh karena itu dapat diidentifikasikan bahwa Ida I Dewa Agung Istri Kanya adalah profil wanita besi dari Klungkung, Bali pada abad ke-19 terutama pada Perang Kusamba tahun 1849.
Setelah Perang Kusamba tahun 1849 dan setelah Dewa Agung Putra, raja Klungkung, saudara laki-lakinya, wafat pada tahun 1850 maka tampak pemerintahan dipegang oleh Dewa Agung Istri Kanya, selama lebih kurang 10 tahun. Selain memegang tampuk pemerintahan, Dewa Agung Istri Kanya mengisi waktu dengan mencurahkan buah pikirannya dalam karya-karya kidung. Karya-karya kidung yang digubah seperti yang sudah disebut di atas yaitu. Pralambang Bhasa Wewatekan dan Kidung Padem Warak yang mengisahkan peristiwa-peristiwa yang paling mengesankan selama hidup penulis. Peristiwa-peristiwa itu adalah gugurnya Dewa Agung Putra, raja Klungkung sebelumnya pada peristiwa perang melawan laskar Gianyar di Blahpane. Peristiwa lainnya ialah upacara besar mengantar roh leluhur (karya agung Meligia) ke alam suci.
Dari, karya-karya tulis yang berbentuk kidung yang dihasilkan itu maka pantas juga Dewa Agung IstriKanya memiliki profil sebagai wanita rakawi atau pengarang wanita, sesuatu yang sangat langka pada zamannya.