IDA I DEWA AGUNG ISTRI KANYA Part 2 – Perempuan Pejuang Melawan Kolonialisme Belanda Di Klungkung
KONDISI KERAJAAN KLUNGKUNG ABAD XIX
2.1.Keadaan Politik.
Kerajaan Klungkung merupakan sebuah kerajasaan diantara delapan kerajaan yang ada di Bali. Kerajaan-kerajaan lainnya adalah Karangasem, Bangli, Gianyar, Klungkung, Badung, Tabanan, Jembrana, dan Buleleng. Wilayah kerajaan Klungkung berbatasan dengan wilayah kerajaan lainnya seperti Karangasem (bagian timur), Bangli (bagian utara), Gianyar(bagian barat), Samudra Indonesia (bagian Selatan). Secara geografis wilayah kerajaan Klungkung dibagi dua yaitu wilayah daratan dan kepulauan. Wilayah daratan luasnya lebih kurang 600 Km, terdiri dari bukit-bukit sebagai bagian dari pegunungan Bali Tengah. Perbukitan itu terutama terletak di perbatasan kerajaan Gianyar, Bangli, dan Karangasem. Makin ke selatan semakin landai dan membentuk dataran rendah yang terbentang luas di sebelah memebelah tiga sungai: Tukad Unda, Tukad Jinah, dan Tukad Melangit sampai mencapai pantai selatan kerajaan Klungkung. di daerah-daerah pegunungan terletak. Dawan, Payangan, Tampaksiring, sedangkan Bajarangkan, Gelgel,Klungkung dan Kusamba terletak di dataran rendah dekat pantai. Ibu kota Klungkung sendiri terletak kira-kira 5km dari pantai selatan.
Wilayah Klungkung bagian kepulauan terdiri dari pulau-pulau yang terletak di antara Selat Badung dan Samudra Indonesia. Pulau-pulau itu adalah Nusa Penida, Nusa Lembongan, dan Nusa Ceningan dengan luas sekitar 222 km. Dengan luas wilayah kerajaan Klungkung seluruhnya adalah 822.
Jumlah penduduk kerajaan Klungkung pada waktu Perang Kusamba (1849) belum jelas atau belum ada sumber-sumber sejarah yang berhasil merekamnya. Akan tetapi menurut perkiraan Van Bloemen Waanders yang pernah melakukan perjalanan di Bali dan Lombok pada tahun 1856, jumlah penduduk kerajiaan Klungkung adalah 46.000 orang.
Untuk bisa terlaksana sistim pemerintahan yang baik dan teratur, wilayah kerajaan dibagi menjadi wilayah-wilayah yang lebih kecil yaitu kemancaan, desa, dan banjar. Struktur birokrasi kerajaan juga disesuaikan dengan pembagian wilayahnya. Dengan demikian ada pemerintahan tingkat pusat yang berpusat di keraton atau puri, yang wilayah kekuasaannya meliputi wilayah kerajaan Klungkung. Selanjutnya ada pemerintahan tingkat kemancaan di bawah pimpinan seorang punggawa atau manca pemerintahan tingkat desa di bawah pimpinan seorang prebekel dan yang terbawah adalah tingkat banjar di bawah pimpinan Klian.
Dalam struktur birokrasi kerajaan Klungkung, susunan hirarkhi kerajaan adalah sebagai berikut: (1) raja, (2) 4punggawa atau manca, (3) prebekel, dan (4) klian.
Raja. Raja memegang kekuasaan tertinggi di dalam bidang politik artinya kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif berada di tangan raja, meskipun kenyataanya di dalam melaksanakan kekuasaannya ia dibantu oleh para pejabat kerajaan, sebagai pegawai bawahan dalam melaksanakan tugasnya sehari-hari. Monopoli perdagangan atau kekuasaan ekonomi juga berada ditangan raja. Demikian pula kekuasaan secara sosial dan budaya. Secara sosial raja termasuk lapisan atas masyarakat Bali dan golongan triwangsa. Dalam bidang budaya raja mengawasi dan menjaga pelaksanaan peraturan agama dan adat dengan setertib-tertibnya dan setiap pelanggaran ditindak dengan melalui pengadilan atau kerta.
Raja atau Dewa Agung didalam melaksanakan pemerintahan sehari-hari dibantu oleh pejabat-pejabat tinggi kerajaan (bahudanda) seperti: bhagawanta, hakim, jaksa sedahan agung.
Bahudanda adalah para pembesar kerjaan yang terdiri dari bhagawanta, para punggava atau manca. Para punggawa atau manca bertempat tinggal dalam sebuah komplek rumah disebut puri. Nama-nama puri mereka diambil dari nama-nama daerah dimana mereka berkuasa, misalnya Puri Gelgel, Puri Satria, Puri Kusamba, Puri Akah, dan lain-lainnya. Para punggáwa adalah para pembesar istana yang menguasai daerah-daerah di kerajaan Klungkung. Daerah-daerah ini adalah daerah-daerah setingkat kecamatan sekarang.
Bhagawanta dalam istilah yang lebih umum disebut pendeta kerajaan, yang tugasnya sebagai pembantu raja dalam urusan keagamaan, terutama yang berkaitan dengan agama Hindu dan agama Bhuda. Mereka diangkat dari pandeta Siwa dan Budha, dengan memakai title Ida Pedanda. Bhagawanta juga berfungsi sebagai penasehat kerajaan bersama-sama pembesar kerajaan lainnya. Dalam masa pemerintahan Dewa Agung Istri Kanya, terdapat nama-nama bhagawanta seperti Pedanda Gde Wayan Pidada dan Pedanda Gde Made Rai.
Masalah peradilan juga mendapatkan perhatian dari pihak kerajaan. Lembaga peradilan kerajaan Klungkung namanya Kerta, dengan aparatnya yaitu hakim, jaksa, dan panitera. Hakim bertugas untuk memutuskan perkara, jaksa sebagai penuntut, sedangkan panitera membuat proses verbal perkara. Hakim bertugas untuk memutuskan berda-sarkan kitab-kitab kuno agama Hindu seperti Purwadigama, Adigama, Agama, Siwasasana, Paswara, dan lain sebagainya. Oleh karena itulah para hakim diangkat dari golongan brahmana (dua orang pendeta) yang pada umumnya menguasaisi kitab-kitab kuno tersebut.
Sedahan agung adalah bendaharawan kerajaan, yang bertanggung jawab atas pemasukan keuangan pada kas kerajaan melalui penagihan pajak (tigasana) baik untuk tanah sawah maupun tegalan. Dalam melakukan tugasnya sehari-hari, Sedahan Agung juga dibantu oleh Sedahan Tembuku dan Kelian Subak.
Para pejabat tingkat daerah adalah punggawa atau manca membawahi wilayah setingkat kemancaan atau mancanegara. Mereka pada umumnya diangkat dari anggota keluarga raja untuk menjamin adanya kesetiaan atau loyalitas. Punggawa membawahi beberapa orang prebekel dan prebekel sendiri ditunjuk oleh punggawa.
Pejabat yang terendah dalan struktur pemerintahan kerajaan adalahlah klian klian banjar. Pada umunya jabatan klian dipegang oleh seseorang berdasarkan atas pemilihan pada waktu rapat banjar, yang kemudian dinintakan persetujuan dari punggawa dan raja untuk diangkat menepati jabatan tersebut.
Dalam hubungan dengan kerajaan-kerajaan lainnya di Bali, rajaatau Dewa Agung di Klungkung melaksanakan politik ganda. Pertama, Dewa Agung di Klungkung menja-lankan ekspansi terhadap kerajaan-kerajaan lainnya di Bali. Pada tahun 1800 Dewa Agung Klungkung menyerang Bangli, sedangkan pada tahun 1805, raja Bangli berasil melepaskan diri dari Dewa Agung Klungkung.Pada tahun1820 kerajaan Gianyar berperang melawan gabungan kerajaan5tetangganya yaitu Klungkung, Bangli, Badung, dan Mengwi. Plotik ini mengalami perubahan ketika ada ancaman dari kekuatan luar yang mau merampas kedaulatannya. Dewa Agung Klungkung mengadakan kerjasama dengan raja-raja lainnya di Bali dalam bentuk perjanjian atau paswara-paswara. Pada tahun 829 diadakan perjanjian dengan raja Gianyar, Badung dan Tabanan yang isinya memuat tentang adanya rasa kesetiakawan satu sama lainnya dan suka duka dipikul bersama-sama. Perjanjian berikut (tahun 1837)adalah antara Dewa Agung Klungkung dengan raja-raja Gianyar, Bangli, Payangan, Badung, dan Mengwi yang isinya adalah rasa kesetiawanan, sehidup semati selama hayat dikandung badan. Rasa kesetiakawanan ini terbukti kemudian Ketika pada tahun 1839 Huskus Koopman yang ditunjuk oleh pemerintah Hindia Belanda yang lainya bahwa kerajaan Klungkung mengakui kedaulatan Gubernemen Hindia Belanda diatas negeri Klungkung. Raja atau dewa Agung klungkung mau menanda tangani kontrak ini karena pihak Belanda berjanji akan memberi bantuan kepada kerajaan-kerajaan : Klungkung, Karangasem, dan Buleleng dalam suatu peperangan melawan kerajaan Mataram Lombok, yang pada tahun 1840 sudah menguasai pulau Lombok sebagai suatu kerajaan yang berdiri sendiri, bebas dari kekuasaan Dewa Agung Klungkung di Karangasem.
Perjanjian berikutnya yaitu mengenai penghapusan tawan karang ditanda tangani dalam kontrak atau perjanjian tanggal 24 Mei 1843. Dari kedua perjanjian ini maka jelaslah bahwa Dewa Agung Klungkung ditempatkan di bawah kedaulatan. Gubernemen Belanda, meskipun sifatnya masih diatas kertas. Kedua perjanjian ini kemudian dijadikan alasan atau dalih oleh pemerintah Hindia Belanda untuk menyerang Klungkung dalam Perang Kusamba (1849), karena Dewa agung Klungkung dituduh melanggar perjanjian yaitu membantu Buleleng dalam Perang Buleleng (1846) dan Perang Jagaraga (1848).
2.2.Keadaan Ekonomi.
Desa-desa yang ada di wilayah kerajaan Klungkung mendapat pengaruh angin muson sehingga menimbulkan musim hujan dan musim kemarau silih berganti. Sekitar bulan Oktober-April angin muson Barat mengakibatkan hujan cukup lebat. Walaupun demikian, pada musim kemarau daerah-daerah kerajaan Klungkung tetap mendapat hujan. Curah hujan rata-rata 1866 m3 dengan jumlah hari hujan 80 – 87 kali dalam satu tahun.
Hujan terutama turun di dataran rendah disebelah menyebelah sungai (Tukad) Unda sehingga memungkinkan penduduk bercocok tanam. Tidak demikian halnya daerah-daerah kerajaan Klungkung bagian kepulauan yaitu pulau-pulau yang terletak di sekitar selat badung, seperti Nusa Penida, Lembongan, dan Ceningan yang curah hujannya sangat jarang. Musim kemarau yang terlalu panjang dan tanahnya mengandung kapur sangat tidak menguntungkan bagi pertanian.
Kerajaan Klungkung memiliki basis ekonomi pertanian. Subak sebagai organisasi pengguna air pertanian tradisional memegang peranan yang sangat penting. Subak adalah organisasi yang mengurus bidang pengairan sehingga air secara teratur bisa mengalir ke sawah-sawah penduduk, baik pada waktu musim hujan, maupun pada waktu musim kemarau. Sawah-sawah di kerajaan Klungkung secara teratur mendapat air dari subak-subak yang tersebar di sekitar Sungai-sungai: Tukad Bubuh, Tukad Jenah, dan Tukad Unda. Tukad Unda merupakan sungai yang paling lebar dikerajaan Klungkung dan di sana ada tiga buah bendungan yaitu bendungan Bajing, bendungan Cau dan bendungan Sampalan. Dua daerah pertanian yang mempunyai arti penting di kerajaan Klungkung adalah subak-subak yang ada di Dawan, sebelah timur Tukad Unda dan subak-subak yang ada di Banjarangkan yaitu di sebelah barat Tukad Unda. Disamping itu terdapat juga persawahan yang luas disekitar kemancaan Gelgel, di sebelah selatan kota kerajaan Klungkung.
Hasil pertanian berupa padi, jagung, ketela rambat, dan kedelai. Panen padi hanya dapat dilakukan dua kali setahun, sedangkan jagung, kedelai, dan ketela rambat ditanam sekali dalam setahun sebagai tanaman selingan. Ini untuk daerah yang subur seperti Dawan dan Bajangkan, sedangkan untuk wilayah kepulauan seperti Nusa Penida dan sekitarnya, karena keadaan tanah berupa pulau karang, hanya bisa menghasilkan padi gaga, sekali dalam setahun. Sebagian penduduk pantai mata pencahariannya menangkap ikan di sekitar Selat Badung, sedangkan sebagian lagi mengusahakan pembuatan garam secara tradisional yaitu dengan bantuan sinar matahari, Pembuatan garam terdapat di sepanjang pantai Kusamba, Jungut batu, Kutampi, dan Batununggul di Nusa Penida. Selain hasil bumi, ada juga hasil kerajinan logam seperti kerajinan emas, tembaga dan besi. Dari bahan-bahan itu dihasilkan: keris, pacul, sabit, mata bajak, dan genta. Barang-barang ini terutama dihasilkan di desa Budaga Kusamba, dan Klungkung, sedangkan pembuatan gong terdapat di desa Tihingan.
Ada pula pengrajin wanita yang mengkhususkan diri dalam pembuatan barang-barang keramik dari tanah liat(gerabah). Kelompok ini khususnya membuat barang-barang dari tanah liat atau geraba huntuk keperluan upacara dan barang-barang untuk keperluansehari-hari seperti periuk. Pusat pembuatan barang-barang gerabah ini adalah di desa Tojan dan Kemuning.
Hasil-hasil lainnya adalah nira (tuak) yaitu sejenis minuman keras yang diambil dari pohon enau atau pohon kelapa kemudian diproses secara tradisional. Penduduk desa Dawan mempergunakan minuman nira sebagai bahan untuk membuat gula aren dan hasilnya di samping untuk keperluan sendiri, juga diekspor melalui pelabuhan Kusamba. Di Dawan terdapat juga peternakan sapi, disamping sebagai penarik bajak, juga diekspor dalam bentuk dendeng. Untuk mengekspor barang-barang dagangan ke luar kerajaan, kerajaan Klungkung mempunyai sebuah pelabuhan yaitu Kusamba. Barang-barang dagangan yang diekspor dari pelabuhan Kusamba adalah: kelapa, minyak kelapa, kulit, dendeng, kopi, garam, beras, padi, ikan asin, terasi.
Semua barang-barang yang keluar masuk pelabuhan diawasi oleh Subandar Kusamba dan setiap pedagang yang keluar masuk harus memiliki surat panugraha yaitu surat ijin dari raja atau Dewa Agung disertai cap kerajaan. Apabila ada di antara para pedagang tidak memiliki surat panugraha, makapedagang itu boleh dirampas beserta seluruh barang dagangannya Hal ini berarti Dewa Agung di Klungkung memonopoli seluruh perdagangan.
2.3. Keadaan Sosial Budaya
Kehidupan sosial budaya di Kerajaan Klungkung sangat dipengaruhi oleh agama Hindu. Ajaran-ajaran agama Hindu yang sangat mempengaruhi perilaku sosial masyarakat di antaranya: Panca Srada, Dasa Paramartha, Panca Yadnya, dan lain-lainnya. Ajaran-ajaran ini tercermin dalam karya Sastra Dewa Agung Istri Kanya yaitu Pralambang Bhasa Wewatekan.
Sistem sosial masyarakat kerajaan Klungkung tidak jauh bedanya dengan sistem sosial masyarakat Bali pada umumnya yaitu dibagi atas empat golongan yang berdasarkan atas keturunan dan disebut catur wangsa yaitu Brahmana, Ksatria, Wesia, dan sudra. Tiga golongan pertama disebut Tri Wangsa, yang merupakan lapisan atas, sedangkan yang lainnya disebut jaba (lapisan bawah). Hubungan antara Tri Wangsa dengan jaba adalah bersifat patron: klaien(kawula gusti), dimana gusti mempunyai posisi yang lebih tinggi daripada kawula dalam segala aspek kehidupan baik politik, ekonomi, sosial, dan budaya.
Hubungan yang nampak di antara golongan-golongan itu di kerajaan Klungkung membentuk struktur dan dengan memperhatikan hubungan ini lapat dilihat peranan yang dimainkan masing-masing golongon wangsa. Ada kecendrungan dari masing-masing golongan wangsa untuk mempertahankan peranan tradisional yang telah mereka miliki sebelumya sehingga mengakibatkan sangat sulit terjadi mobilitas sosial vertical.
Golongan brahmana dan golongan ksatria yang menempati posisi puncak piramida sosial, juga mendominir bidang politik di tingkat politik di tingkat kerajaan, memperoleh status sosial yang tinggi di samping karena kekuasaannya dididalam bidang politik. Di sini jelas terterlihat hubungan politik antara status sosial dengan catur wangsa. Status sosial yang dimiliki seseorang sejajar dengan tinggi rendahnya golongan wangsa mereka. Dengan sendirinya golongan tri wangsa yaitu brahmana, ksatria, dan wesia memiliki status yang lebih tinggi dari gologan jaba yang kebanyakan tinggal di pedesaan.
Ada dua kriteria untuk dapat menentukan status seseorang di kerajaan Klungkung. Pertama, adalah keturunan yaitu jauh dekatnya hubungan kekerabatan seseorang dengan elite sosial religius; dan kedua, jauh dekatnya hubungan kekerabatan seseorang dengan para elite politik di tingkat kerajaan. Suasana religius magis yang menguasai. Kehidupan masyarakat pada waktu itu, memberikan pengaruh yang besar terhadap status yang dimiliki golongan elite sebab para elite sosial politik maupun elite religius tidak dipandang sebagai memiliki kekuatan diluar kekuatan manusia. Seorang raja sering dianggap sebagai penjelmaan Dewa Wisnu. Hal ini menggambarkan bagaimana tingginya status dan bagaimana besarnya kekuasaaan yang dimiliki.
Suasana relegius magis memberikan status yang tinggi pula terhadap golongan brahmana. Mereka menguasai ajaran agama dan peranan ini adalah peranan tradisional yang diterima secara turun-temurun. Diantara mereka ada yang dinobatkan sebagai pedanda yaitu seorang pendeta terutama dinobatkan untuk mengesahkan upacara pendeta yang baik ditingkat kerajaan seperti penobatan raja atau Dewa Agung maupun upacara adat keagamaan di pura-pura.
Para pedanda di mata golongan lainnya adalah siwa-guru, sedangkan golongan yang ada di luar golongan brahmana adalah sisya. Di sini pengetahuan golongan brahmana di dalam bidang keagamaan menempatkan mereka dalam status yang lebih tinggi bahkan karena merekalah satu-satunya golongan yang dianggap paling menguasai ajaran agama dan karenanya memiliki kekuasaan yang paling besar dalam bidang ini. Hubungan siwa-guru dan sisya bersifat hubungan ketergantungan, di mana sipa-guru memberikan pengayo-man di bidang spiritual, sedangkan sisya memberikan bakti atau kesetiaan kepada para pedanda.
Hubungan semacam ini tidak saja terdapat antara siwa-guru dengan sisya, akan tetapi juga terdapat antara raja dengan rakyat sehingga dalam perjanjian-perjanjian yang diadakan antara Dewa Agung Klungkung dengan raja-raja lainnya di Bali terdapat istilah gustidan kaula. Gusti berfungsi mengayomi masyarakat baik secara politik, ekonomi, sosial, dan budaya sedangkan rakyat(kaula) pengabdian kepada kerajaan berupa tenaga memberikan kerja, jiwa raga; dan lain-lainnya.
Dengan memperhatikan uraian di atas jelas nampak bahwa kesempatan setiap orang untuk memperoleh status tinggi ternyata dibendung oleh batas-batas keturunan dan wangsa sehingga satus sosial yang dimiliki seseorang cendrung untuk dipertahankan.
Status yang sangat tinggi dari golongan brahmana dan ksatria memberikan hak kepada mereka untuk memegang kekuasaan dalam segala bidang kehidupan. Dalam hal ini pribadi raja atau Dewa Agung sebgai pemegang kekuasaan kerajaan yang tertinggi mempunyai pengaruh yang sangat besar. Pengaruh ini juga kelihatan jelas dalam bidang hukum, seperti apa yang diuraikan di dalam Paswara Asta-negara. Menurut Adi Agama, raja atau Dewa Agung memutuskan pengadilan, seperti memberikan hukuman mati.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ksatria dalem, demikian juga brahmana yang memegang posisi kepemimpinan di kerajaan Klungkung memiliki status yang sangat tinggi berdasarkan hak waris secara turun-temurun, atau berdasarkan wangsanya di dalam triwangsa.