IDA I DEWA AGUNG ISTRI KANYA Part 3 – Perempuan Pejuang Melawan Kolonialisme Belanda Di Klungkung

 

PROSES SOSIALISASI DAN ENKULTURASI DALAM LINGKUNGAN KERATON

 

3.1. Keraton Semarapura.

Membicarakan tentang Keraton Semarapura tidak bisa dilepaskan dari latar belakang sejsrahnya. Ketika I Gusti Agung Maruti berhasil merebut tahta kerajaan Gelgel (1650-1686), semua wali daerah kembali ke daerah kekuasaannya masing-masing, tanpa mau mengakui kekuasaan I Gusti Agung Maruti sebagai penguasa tunggal di Bali. Beberapa wali daerah seperti Jambe Pule dari Badung, I Gusti Sidemen dari Singarsa (Karangasem), dan Panji Sakti dari Den Bukit (Buleleng) ingin mengadakan pembalasan terhadap Maruti dan menegakkan kembali kekuasaan Dalem Di Made, sebagai penguasa yang sah dari dinasti Kresna Kepakisan. Ketiga perguasa daerah akhirnya sepakat berama-sama membantu Dalem Di Made untuk menegakkan kembali kekuasaannya. Laskar Den Bukit menyerang melalui Bangli terus ke Gelgel melalui Tukad Bubuh Jambe Pule sebagian melalui laut (selatan) dan sebagian lagi melalui Gianyar (dari arah barat), sedangkan I Gusti Ngurah Sidemen menyerang dari arah timur.

Dengan strategi dan taktik yang telah disusun secara teliti dan rapi pengikut Dalem Di Made bangkit untuk melawan Maruti. I Gusti Ngurah Sidemen walaupun pernah dicurigai Dalem Made karena adanya fitnah dari Maruti, tampaknya tidak terpengaruh Karena adanya fitnahan tersebut. Dengan laskarya yang cukup besar, I Gusti Ngurah Sidemen berangkat melintasi Tukad Unda menuju Gelgel.

Panji Sakti walaupun secara resmi tidak diakui sebagai keturunan Dalem Sagening agaknya kesetiaan Jlantik yang kemudian menjadi anak angkatnya sangat mengetuk hatinya untuk membela kepentingan Dalem Di Made sebagai penguasa tunggal di Bali. Panji Sakti kemudian siapkan satu gabungan laskar vang cukup kuat untuk menyerang Gelgel dari utara sedangkan Jambe Pule, penguasa dari Badung mempersiapkan bantuan laskar yang akan menyerang Maruti dari arah barat dengan melalui wilayah kerajaan Gianyar dan pantai selatan Bali.

Pada tahun 1680 terjadilah serangan gabungan antara pasukan (laskar) yang tetap setia kepada Dalem Di Made yaitu laskar Sengsara bersam-sama laskar  Badung dan Buleleng menyerang Gelgel. Karena hebatnya gempuran dari segala penjuru, laskar Gelgel akhirnya menderita kekalahan, sedangkan Gusti Agung Maruti melarikan diri ke desa Jimbaran (Badung) dan kemudian menetap di desa Keramas (Gianyar).

Ternyata Dalem Di Made dengan dukungan putra-putranya dan para penguasa daerah yang masih setia kepada Dalem berhasil mengembalikan tahta kerajaan Gelgel. Akan tetapi beliau tidak lama menikmati kemenangan ini, akhirnya meninggal dunia. Yang menggantikan beliau kemudian sebagai raja di Gelgel adalah Dewa Agung Jambe (1686-1722), sedangkan kakaknya. I Dewa Agung Pembayun menjadi penguasa di Tampak Siring. Menurut Babad Dalem, pada waktu mengungsi dan barkeraton di Guliang (Bangli), untuk beberapa saat Pembayun pernah memerintah di Guliang, sedangkan adiknya mengungsi ke Sidemen. Rupanya Dewa Agung Jambe lebih berperanan dalam merebut kekuasaan Gusti Agung Maruti di Gelgel, sehingga kemudian lebih berhak mewarisi tahta kerajaan Gelgel yang sudah porakporanda.

Atas saran I Gusti Angurah Sidemen, yang merupakan pendamping setia Dewa Agung Jambe, keraton dipindahkan dari Gelgel ke Klungkung, dan keraton baru diberi nama Smarajaya, yang kemudian lebih populer dengan nama Smara-pura. Latar belakang pemindahan keraton ini tidak jelas terekam dalam sumber-sumber sejarah, baik sumber Babad maupun sumber-sumber asing. Rupanya faktor yang paling menentukan adalah karena seringnya terjadi pemberontakan Batan Jeruk dan Gusti Agung Maruti, Akibatnya keraton kehilangan wibawa atau pulung, sehingga dipindahkan dan diganti dengan kerator baru, demikian pula nama Salem dipandang kehilangan kharisma, sehingga dibentuk dinasti baru dengan gelar yang dipakainya yaitu: Ida I Dewa Agung disingkat Dewa Agung, yang lebih bersifat Bali. Dinasti Klungkung adalah dinasti Kresna Kepakisan, pelanjut penguasa-penguasa di Gelgel, meskipun dengan keraton dan gelar baru, sehingga ada hak menuntut sebagai susuhunan kerajaan Bali dan Lombok, sebagai halnya kerajaan Gelgel. Antara periode kerajaan Gelgel dan kerajaan Klungkung terjadi proses desintegrasi dan integrasi yang kemudian diusahakan oleh para raja atau Dewa Agung di Klungkung, yang meskipun sepenuhnya secara politik tidak berasil.

Karena Deua Agung Jambe, dinasti penerus dari Dalem Kresna Kepakisan, maka keraton Semarapura dibuat mengikuti pola keraton atau puri inilah Dewa Agung Istri Kanya dibesarkan.

Dengan munculnya dinasti baru yaitu dinasti Klungkung adalah merupakan masa renaisance bagi kesusastraan, terutama mengenai studi dan penulisan kekawin, seperti sebelumnya pada periode Gelgel ternyata keraton Semarapura di Klungkung pada abad ke-18 dan ke-19 menjadi pusat aktivitas kesusastraan. Rupanya hal ini pula dapat membentuk watak atau kepribadian Dewa Agung Istri Kanya, sebagai seorang wanita yang berjiwa ksatria, pemberani menghadapi tantangan Belanda, sanggup membela kemerdekaan dan kedaulatan kerajaan.

3.2. Asal-Usul.

Ayah I Dewa Agung Istri Kanya adalah I Dewa Agung Putra I atau dikenal pula dengan nama I Dewa Agung Putra Kusamba, karena beliau berkeraton di Kusamba (wilayah kerajaan Klungkung). Ibunya berasal dari Karangasem. Ketika ayahnya masih kecil dipelihara oleh raja Karangasem yaitu I Gusti Ngurah Made Karangasem.

Kakeknya adalah Dewa Agung sakti, raja Klungkung IV, sedangkan neneknya juga berasal dari puri Karangasem. Ketika neneknya dalam keadaan hamil terjadi pertengkaran dengan kakeknya yang mengakibatkan neneknya meninggalkan keraton Semarapura Klungkung dan tinggal di rumah I Gde Tanjung di desa Besang. Di sini beliau tinggal sampai melahirkan seorang laki-laki (I Dewa Agung Putra Kusamba). Mengetahui situasi yang demikian ini, akhirnya raja Karangasem yaitu I Gusti Ngurah Made Karangasem mengirin utusan supaya kemenakannya beserta putranya tinggal di puri Karangasem permintaan ini disetujui sehingga akhirnya permaisuri Ida I Dewa Agung Sakti bersama putranya tinggal di puri Karangasem dan bergaul bersama-sama putra-putra raja Karangasem dan Istri Ayu Karang. Karena sudah lanjut usia, ibunya pun meninggal di Karangasem.

Akibat menderita sakit, akhirnya Ida I Dewa Agung Sakti meninggal dunia, dan sehingga penggantinya adalah Ida I Dewa Agung Panji. Sebenarnya yang berhak menggantikan I Dewa Agung Sakti adalah putranya I Dewa Agung Puta Kusamba yang pada waktu itu masih menetap di puri Karangasem.

Masalah pergantian tahta di keraton Smarapura Klungkung akhirnya menjadi pembahasan di puri Karangasem, karena seharusnya pewaris tahta kerajaan adalah I Dewa Agung Putra. Untuk mengembalikan tahta kerajaan ketangan I Dewa Agung Putra secara diplomasi/damai rasanya tidak mungkin, akhirnya ditempuh cara kekerasan melalui peperangan. Dalam peperangan ini kerajaan Klungkung menderita kekalahan. Sebelum kembali ke Klungkung, Beliau sudah mempunyai dua orang, istri, satu permaisuri dan seoranglagi istri dari golongan wesia. Dari permaisurinya beliau mempunyai seorang putri bernama I Dewa Agung Istri Muter yang kemudian lebih populer dengan nama Dewa Agung Istri Kanya, sedangkan dari istri wesia beliau mempunyai seorang putra yang bernama Cokorda Ketut Rai yang kemudian menjadi raja Klungkung VI dengan gelar Dewa Agung Putra II(Dewa Agung Purta Balemas).

Atas permintaan raja-raja Gianyar, Mengwi, Badung dan Tabanan, akhirnya Dewa Agung Putra kembai ke Klungkung untuk menggantikan ayahnya I Dewa Agung Sakti sebagai raja Klungkung V. Untuk sementara beliau menetap di satria Kanginan membuat puri baru yaitu satria Kanginan dan kemudian di Kusamba sebagai pusat pemerintahannya, sehingga beliau juga disebut I Dewa Agung Purtra Kusamba. Kapan beliau mulai memerintah, tidak begitu jelas disebut dalam sumber-sumber babad, demikian pula sumber-sumber asing. Akan tetapi masa akhir pemerintahannya diperkirakan tahun1808, ketika berperang melawan Bangli.

3.3. Pengangkatan Sebagai Dewa Agung.

Menurut Sejarah Klungkung yang diterbitkan oleh Kabupaten Daereh Tingkat II Klungkung, sebagai pengganti raja Klungkung V: Dewa Agung Putra I (Dewa Agung Putra Kusamba) adalah Dewa Agung Putra II (Dewa Agung Putra Palemas), putra dari Dewa Agung Putra Kusamba dari istri Wesia. Semasih berada di puri Karangasem, beliau telah dijadikan anak ngkat (keperas) secara adat bali menjadi putra angkat syah oleh ibu Suri Karangasem, sehingga memungkinkan kemudian hari menjadi putra malikota untuk menggantikan ayahnya menjadi raja. Peneliti-peneliti lain kemudian mempunyai interpretasi atau kesimpulan yang berbeda.

Wikarni dalam penelitiannya tahun 1984 menyatakan bahwa setelah DewaAgung Sakti mangkat, maka yang diangkat menjadi raja adalah Dewa Agung Putra Kusamba dan berkeraton di Puri Kusamba. Dalam menjalankan pemerintahan, raja menunjuk putrinya yaitu Dewa Agung Istri Kanya menangani pemerintahan di keraton Semarapura bersama adiknya Cokorda Rai, sedangkan Dewa Agung Putra hanya aktif menangani masalah-masalah pemerintahan untuk wilayah Kusamba.

Setelah Dewa Agung Putra Kusamba mangkat, kemudian secara resmi dinobatkan sebagai penggantinya adalah Dewa Agung Istri Kanya (1822-1860). Beliau juga disebut Agung Istri Balemas, karena tinggal di Balemas bersama adiknya. Dewa Agung Putra di Balemas. Balemas adalah salah satu bagian dari keraton Semarapura dan menempati status setingkat lebih rendah dari kamar raja.

Peneliti lain yaitu Ida Bagus Udara Naryana (et.a1) dalam membahas karya Dewa Agung Istri Kanya Pralambang Bhasa Wewatekan (1986/1987) menyimpulkan dari daftar pustaka yang dirujuk bahwa setelah Dewa Agung Putra Kusamba meninggal dunia di Belahpane tahun 1809, maka yang dinobatkan menjadi raja adalah Dewa Agung Istri Kanya dan beristana di keraton Semarapura Klungkung.

Helen Creese dari hasil penelitiannys yang berjudul Sri Surawirya, Dewa Agung of Klungkung (c.1722-1736): The Historical Context for Dating The Kekawin Parthayana menyatakan bahwamasa pemerintahaan Dewa Agung Istri Kanya(1309-1849). Dengan demikian beliau adalah pengganti ayahnya Dewa Agung Putra Kusamba yang meninggal di Belahpane tahun 1809. Lebih jauh dinyatakan bahwa dengan munculnya dinasti Kresna Kepakisan di Klungkung, merupakan masa renaissance kesusastraan Bali, khususnya kekawin, yang berpusat di keraton, seperti halnya pada masa kerajaan Gelgel.

Margaret Joyce Wiener dalam disetasi tahun 1390 menyatakan bahwa setelah Dewa Agung Putra meninggal dunia tahun 1809, maka terjadilah kebingungan. Siapakah akan menggantikan beliau. Dewa Agung Putra II pada waktu itu masih muda dan kalau dari segi ibunya adalah golongan wesia, sedangakan saudara perempuannya yaitu Dewa Agung Istri Kanya adalah seorang wanita. Hal ini menjadi masalah sebab menurut tradisi kekerabatan di Bali (patriarhat), putra mahkota sebagai pewaris tahta kerajaan adalah harus seorang putra mahkota.

Dewa Agung Kusamba banyak mempunyai saudara laki-laki yang dapat diharapkan salah seorang diantaranya untuk menggantikannya, akan tetapi hal itu tidak terjadi. Untuk sementara terjadi kevakuman pemerintahan (1809-1815), sedangkan pada tahun1815 barulah terjadi komprom yaitu Dewa Agung Putra II diangkat menjadi raja, yang didampingi oleh saudara perempuannya yaitu Dewa Agung Istri Kanya. Sebagai pendamping raja, terutama dalam menghadapi ekspansi Belanda dalam Perang Kusamba (1848). Dewa Agung Istri Kanya menentang intervensi Belanda ke Bali dalam bentuk apapun. Ketika utusan Belanda datang kekeraton Semarapura di Klungkung menyatakan protes dan minta ganti rugi atas dua buah perahu yang dirampas oleh rakyat Pasinggahan di pantai Batulahak tahun 1847, Dewa Agung menolak untuk melayani utusan tersebut. Penolakan didasarkan atas alasan bahwa Dewa Agung dan rakyat Klungkung sedang sibuk upacara adat maligia (upacara penyucianle luhur). Atas penolakan ini pihak Gubernemen menuduh Dewa Agung Istri Kanya telah mempengaruhi raja. Pemerintah Gubernemen sangat yakin bahwa di sekitar raja terdapat orang yang membenci pemerintah Hindia Belanda dan berusaha menggagalkan perjanjian perdamaian yang telah disepakati. Kelompok ini dipimpin oleh Dewa Agung IstriKanya.

Jenderal Micheels sudah mengetahui peranan Dewa Agung Istri Kanya dalam Perang Buleleng dan Perang Jagaraga. Oleh Michiels dipihak Gubernemen, Dewa Agung Istri Kanya dilukiskan sebagai seorang wanita yang berjiwa lelaki dengan watak keras kepala dan berhati baja. Berdasarkan laporan mata-mata belanda, Jenderal Michiels mengetahui bahwa Dewa Agung Istri-Kanya paling berperanan dalam mengatur pertahanan di Pura Gowa Lawah.

Disamping itu pihak gubernemen meyakinkan bahwa serangan laskar Klungkung pada tanggal 25 Mei 1849 malam yang mengakibatkan tewasnya Jenderal Michiels sepenuhnya diatur dan di bawah bawah perintah Dewa Agung Istri Kanya. Demikian pula Dewa agung Istri Kanya yang memerintahkan meneruskan pembangunan benteng-benteng pertahananuntuk menghadapi setiap serangan pasukan Belanda terhadap Klungkung.

Akhir dari perang Kusamba (1849), pihak Dewa Agung di Klungkung menandatangani perjanjian baru dengan pemerintah Hindia Belanda yang disehut Suppleboir Contract MetKlongkong ed. 13 Juli 1849 yang isinya antara lainya itu menyerahkan kerajaan Klungkung kepada Pemerintah Hindia Belanda dan membatalkan semua perjanjian sebelumnya. Pihak kerajaan Klungkung dalam perjanjianitu diwakili oleh Dewa Agung Ktut Agung, beserta pembesar kerjaan sebagai saksi yaitu Pedanda Made Rai dan Ratu Ktut Agung Mangui. Setahun kemudian yaitu tahun 1850, Raja Klungkung VI yaitu Dewa Agung Putra II meninggal dunia, dan diganti oleh Dewa Agung Istri Kanya sebagai raja Klungkung VII, yang tetap menjalankan politik perlawanan terhadap Belanda, yang kemudian dilanjutkan oleh para penggantinya dan berakhir dengan Puputan Klungkung 28 April 1908, sebagai suatu pencerminan tekad pantang menyerah menghadapi dominasi kekuasaan Belanda untuk menegakkan darma atau kebenaran. Eksistensi kerajaan Klungkung secara politik boleh lenyap, tetapi semangat yang diwariskan yaitu pantang mundur pantang menyerah mengiIhami perjuangan pada masa-masa selanjutnya.