IDA I DEWA AGUNG ISTRI KANYA Part 5 – Perempuan Pejuang Melawan Kolonialisme Belanda di Klungkung
IDA I DEWA AGUNG ISTRI RANYA SEORANG WANITA RAKAWI
5.1.Lingkungan Budaya.
Ida I Dewa Istri Kanya ialah seorang putri dari dua orang putra raja Klungkung yang bergelar Dewa Agung Putra Kusamba. Sebagai seorang putri raja, Ida I Dewa Agung Istri Kanya dibesarkan didalam lingkungan keraton yang disebut keraton Semarapura di Klungkung. Keraton yang dibangun pada abad ke-17 merupakan komplek tempat kediaman raja beserta keluarganya sehingga pergaulan hidup sehari-hari lebih banyak dilakukan dengan lingkungan kerabat raja, dibandingkan dengan yang lainnya.
Pergaulan yang lebih banyak dilakukan dengan kerabat raja dan pembesar istana lainnya, diperkuat dan dipertahankan selama berabad-abad sebagai tradisi keratonan. Tembok keraton seolah-olah menjadi batas yang kokoh antra kehidupan keraton dengan kehidupan di luar keraton. Keraton Semarapura terbagi atas beberapa bangunan antara lain saren gede tempat kediaman raja dan bale mas yang terletak di dekat saren gede, Di komplek bale mas yang terletak di belakang kediaman dewa Agung Putra Kusamba yang sedang memerintah, tinggal para putra raja. Disini lah Ida I Dewa Istri Kanya dan saudara tirinya, bertempat tinggal, tempat terhormat bagi seorang putri raja Klungkung yang sedang memerintah.
Keraton menjadi pusat segala kegiatan dalam segala aspeknya, dan di dalam suasana demikianlah Ida I Dewa Agung Istri Kanya dibesarkan. Agama Hindu memegang peranan penting, dan di dalam bidang ini terdapat jabatan penting kerajaan yang disebut bhagawanta. Bhagawanta merupakan jabatan tertinggi istana yang bisa diduduki oleh seorang brahmana yang bertugas memberikan nasehat kepada raja beserta semua kerabatnya.
Nasehat seorang bhagawanta terhadap raja beserta keluarganya mencakup segala segi kehidupan sehingga bhagawanta dapat dikatakan sebagai tokoh yang melestarikan tradisi. Nasehat yang diberikan baik secara lisan maupun tulisan. Dapat dipahami bahwa kesusastraan berkembang antara lain dengan cara yang demikian juga. Kegiatan yang demikian itu menempatkan keraton sebagai pusat berkembangnya kesusastraan, suatu tradisi yang dapat dikembalikan kepada masa Gelgel sekitar abad XVI.
Kesusastraan yang mengandung nilai Agama Hindu mengajarkan kepada pembacanya antra lain untuk senantiasa rendah hati menghadapi sesama. Kesadaran manusia. Terha-dap kedudukannya yang serba terbatas dalam hubungannya dengan zat tertinggi (Sanghyang Widhi) maupun dengan sesamanya memperkuat pandangan bahwa kehidupannya juga ditentukan oleh kekuatan yang tidak nampak itu. Sikap santun terhadap sesama apalagi terhadap orang yang dianggap lebih tua menjadi ciri utama pergaulan hidup dikeraton Semarapura. Pandangan hidup masyarakat dan keagamaan ini sangat mempengaruhi sikap hidup Ida I Dewa Agung Istri Kanya di dalam menghadapi dunia luar dirinya pada masa kemudian.
Selain nilai luhur yang ada di dalam kesusastraan agama, pribadi Ida I Dewa agung Istri Kanya dibesarkan oleh peristiwa sejarah.
Sesuai dengan beberapa sumber sejarah, Ida I Dewa Agung Istri Kanya lahir di Karangasem, tempat asal ibu-nya. Ibunya merupakan salah seorang putri keturunan raja Karangasem sehingga hubungan antara kerajaan Klungkung dengan Karangasem cukup dekat. Hubungan keturunan tidak saja terbatas kepada keluarga Puri Karangasem tetapi juga dengan kerajaan Beleleng, Badung, Mengwi dan Gianyar. Hubungan keluarga ini dapat dipahami setelah mempelajari sumber-sumber sejarah. Selain ibu kandung sebagai permaisuri Dewa Agung putra Kusamba, Ida I Dewa Agung Istri Kanya mempunyai seorang ibu tiri, selir Dewa Agung Putra Kusamba yang kemudian melahirkan seorang putra. Dari sumber yang diperoleh selama penelitian, dapat dipahami bahwa ibu kandung maupun ibu tiri tidak memberikan pengaruh yang mendalam terhadap pribadi Ida I Dewa Agung Istri Kanya, dibanding dengan Dewa Agung Putra Kusamba sebagai seorang ayah. Dewa Agung Putra Kusamba sebagai seorang ayah, Dewa Agung Klungkung dan sehuhunan di Bali maupun di Lombok sebaliknya mempunyai pengaruh yang sangat mendalam, dan karena itu menduduki tempati stimewa dalam pandangan Ida I Dewa Agung Istri Kanya.
Dewa Agung Putra Kusamba dan raja Klungkung yang memegang pemerintahan terutama sejak abad XIX, menghadapi perubahan yang semakin hebat di dalam bidang politik. Abad XIX termasuk kurun waktu yang mencakup proses perubahan menuju keruntuhan kerajaan Klungkung. Ida I Dewa Agung Istri Kanya mendengar proses perubahan ini dari orang tua dan mengalami sendiri proses keruntuhan itu. Proses keruntuhan itu ditandai terutama oleh pertentangan kepentingan Dewa Agung di Klungkung melawan raja-raja lainnya di Bali. Pertentangan kepentingan itu sering menimbulkan konflik fisik dan meninggalkan korban, tidak saja berupa harta benda tetapi juga nyawa termasuk nyawaayah kandung sendiri.
Selain konflik melawan raja-raja di Bali maupun di Lombok Ida I Dewa Agung Istri Kanya juga mengalami bagaimana kerajaan Klungkung dihadapkan kepada pilihan yang sangat sulit karena menghadapi tekanan diplomasi pemerintah kolonial Belanda, Konflik dengan demikian menjadi ciri umum budaya Bali abad XIX di mana dan pada saat mana Ida I Dewa Agung Istri Kanya lahir serta dibesarkan. Di dalam hal ini keraton Semarapura beserta segala isinya termasuk Dewa Agung Putra yang memegang pemerintahan dianggap sebagai pusat perkembangan budaya. Akibatnya semua proses perkembangan budaya dipandang sesuai dengan kepentingan keraton.
Pandangan mengenal proses perkembangan budaya diwarnai oleh konsepsi Hindu melalui masa lampau masa kini dan Masa depan. Sesuai pandangan ini, masa lampau hampir selalu diidentifikasi sebagai masa kertayuga, suatu masa di mana kerajaan Klungkung dianggap mengalami jaman keemasan. Masa kini yang dialami oleh Ida Dewa Agung Istri Kanya dianggap sebagai bagian waktu yang penuh kekacauan serta kesengsaraan sedangkan masa depan memiliki penuh harapan kebahagian. Proses perkembangan budaya secara praktis hanya dilihat di dalam tiga fase diatas dan sepanjang penelitian ini, tidak disebutkan adanya jaman treta yuga dandwa para yuga. Di dalam perkembangan sejarah Bali juga sulit diidentifikasi fase mana yang termasuk treta yura(kekacauan) sebaliknya mudah diidentifikasi di dalam perkembangan sejarah Klungkung. Kedua fase yang tersebut terakhir membatasi perkembangan kerajaan Klungkung dari masa kaliyuga menuju jaman kerta yuga dan sebaliknya dari jaman kerta yuga kekali yuga. Masa kini yang penuh kekacauan mempengaruhi pandangan Ida I Dewa Agung Istri Kanya terhadap dirinya maupun pandangan terhadap dunia di luarnya.
5.2. Tujuan, Bentuk, Isi dan Sifat Pralambang Bhasa Wewatekan.
Secara jelas dinyatakan bahwa Pralambang Bhasa Wewatekan sebagai hasil karya sastra bertujuan mengungkapkan perasaan sedih yang sangat mendalam terhadap realitas hidup yang pernah dan sedang dihadapi oleh Ida I Dewa Agung Istri Kanya. Oleh karena itu Pralambang Bhasa Wewatekan dengan sendirinya mengandung unsur sejarah.
Tujuan yang sangat jelas itu diungkapkan pada lembar16b. ”Mangde pwang kagagat prih-ingwang-a ngtang kasurugani sarantaning ati”. Artinya secara bebas adalah: saya menulis sebuah karangan karena terdorong oleh sakit hati. Kesadaran terhadap masa kininya yang dianggap tidak membahagiakan, penuh kekacauan dan konflik, mendo-rongnya untuk tidak terus tenggelam dalam kesedihan itu. Ida I Dewa Agung Istri Kanya ingin keluar dari realitas hidup yang menghimpit dengan jalan menjadi seorang penu-lis. Di dalam Pralambang Bhasa Wewatekan dinyatakan bahwa: “Tan ryamban bayangan nanahku kasekan lara sinaki-tan ing rajah kamah, na hetunyawimuda paksa tumulartular angapi gurit niracrhya.” Terjemahan bebasnya adalah Hatiku bingung dan cemas karena kesedihan yang mendalam dan diselimuti oleh kegelapan. Oleh karena ituaku yang bodoh ingin menjadi seorang penulis.
Dengan cara mencurahkan kesedihan itu ke dalam karya sastra maka Ida I Dewa Agung Istri Kanya bebas dari kesedihan itu sendiri. Masalahnya adalah dalam bentuk apa curahan perasaan itu diungkapkan. Dengan menggambarkan masa kini yang serba negatif, Ida I Dewa Agung Istri Kanya sesungguhnya memiliki tujuan yang lain yaitu menggambarkan sejarah kebesaran masa lampau kerajaan Klungkung yang diwujudkan dik dalam diri raja Klungkung yaitu Dewa Agung Putra Kusamba. Kebesaran Dewa Agung PutranKusamba digambarkan di dalam karangannya baik sebagai raja Klungkung maupun sesuhunan Bali dan Lombok. Kontras-kontras yang dipikirkan oleh I Dewa Agung Istri Kanya ingin dituangkan dalam bentuk pralambang melalui untaian kekawin. yaitu karya sastra yang terikat oleh aturan tertentu. Akibatnya penuangan pikiran dan pera-saan ke dalam sebuah karangan dibatasi oleh aturan yang berlaku. Akhirnya penggambaran realitas historis sulitdi idenfifikasi. Ini dapat dipahami sebab Ida I Dewa Agung Istri Kanya tidak bermaksud menulis karya sejarah, tetapi menulis karya sastra yaitu Pralambang Bhas Wewatekan dalam bentuk puisi sebagai bentuk yang umum pada jamannya.
Di dalam usaha menggambarkan pengalaman masa lampau dan masa kini yang sedang dialaminya, Ida I Dewa Agung Istri Kanya boleh dikatakan bekerja secara sistematis menurut ukuran jaman itu. Isi Pralambang Bhasa Wewatekan sudah jelas menggambarkan masa lampau kerajaan Klungkung yang tidak pernah dialami, dan sebagian yang lain memang pernah dan sedang dialami. Oleh karena itu Ida Dewa Agung Istri Kanya tidak bekerja sendirian. Informasi yang diberikan oleh para lelurhur, pujangga dan informan lain memegang peranan penting dalam proses penulisan hasil karyanya informasi mengenai hubungan raja Klungkung dengan Majapahit tentu didengar dari para pujangga atau dibaca dari sumber yang telah ada.
Cara untuk menuangkan pikiran dan perasaan ke dalam karangan juga dapat dipelajari dari pujangga di keraton Semarapura. Mungkin benar apa yang dikatakan Ida I Dewa Agung Istri Kanya bahwa keterampilan untuk menulis sebuah karangan juga berkat pendidikan yang diterima dari Dewa Agung Putra Kusamba, almarhum ayahnya. Di dalalm Pralambang Bhasa Wewatekan dinyatakan bahwa: “Kyati ori wiryaputra nupana nipuna ring sarwa castra dhi guhnya….Ndah mangka kottama sang nara pati winuwus sang huwus sidha yogi, denya ngwang harsa cittang rahat i hati maweh hyunumawak wilapa”. Artinya secara bebas: Terkenal Ida I Dewa Agung Putra (Kusamba) yang sangat mahir di dalam ilmu pengetahuan utama. Aku sangat segan karena beliau memberikan pendidikan untuk menjadi penulis.
Pengakuan yang tulus s esungguhnya mencerninkan bahwaIda I Dewa Agung Istri Kanya merupakan seorang penulisyang jujur dan terbuka. Kejujuran dengan demikian telah di pegang teguh dan sikap ini merupakan syarat mutlak seorang ilmuwan sampai masa kini. Etika keilmuan yang juga dimiliki oleh Ida I Dewa Agung Istri Kanya adalah sikap rendah hati, sikap ideal ilmuawan masa kini sebagai lawan dari sikap kesombongan ilmiah yang juga masih sering ditunjukkan para ilmuan masa kini. Sikap rendah hati dapat dipahami dari Pralambang Bhasa Wewatekan padalembar 6a, yang mempertentangkan dirinya yang dianggap kurang pengetahuan, dan karena itu tidak mampu menulis secara sempurna. Selanjutnya kesadaran terhadap kekurangan yang ada pada dirinya mendorongnya untuk menerima kritik dalam menyempurnakan Pralambang Bhasa Wewatekan.
Urutan kerja yang sistematik yang diikuti oleh Ida I Dewa Agung Istri Kanya sebagai pengarang atau rakawi juga sangat menonjol. Sistematika pembahasan karya sastranya tampak jelas dari penggambaran isinya. Ida I Dewa Agung Istri Kanya mengawali tulisannya dengan pendahuluan yang pada prinsipnya mohon keselamatan kepada Sanghyang Widhi Wasa di dalam melakukan suatu pekerjaan. Ida I Dewa Agung Istri Kanya mengawali tulisannya dengan kalimat Awighnamastu yang artinya semoga tidak ada halangan. Kalimat ini sangat umum digunakan di dalam karya sastra baik pada jaman Gelgel maupun jaman Klungkung. Sangat sering dijumpai variasi tambahan dengan kata: nama sidham.
Isi Prlambang Bhasa Wewatekan terdiri atas 25 halaman dan selebihnya merupakan hasil karya orang lain yang digabung menjadi satu dengan hasil karya Ida I Dewa Agung Istri Kanya, Mengapa hasil karya ini digabung dan siapa penulisnya tidak perlu dibahas di sini. Isinya dimulai dengan melukiskan perasaan penulis sehubungan dengan gugurnya Ida I Dewa Agung Putra Kusamba dalam perang melawan Taman Bali. Perasaan sedih semakin memuncak pada waktu pembakaran jenasah. Perasaan ini dapat dipahami sebab selain sebagai ayah, Dewa Agung Putra Kusamba juga sebagai guru dan raja serta sesuhunan Bali Lombok yang dihormati. Selain itu setelah gugurnya Dewa Agung Putra Kusamba, kerajaan Klungkung menghadapi konflik tidak saja melawan raja lainnya di Bali maupun di Lombok, tetapi juga melawan pemerintah kolonial Belanda. Ida I DewaAgung Istri Kanya menghadapi masalah politik yang memerlukan keterguhan hati. Justru dalam keadaan seperti itu timbul kerinduan kepada kebahagiaan. Kebahagiaan itulah yang dianggap ada pada masa lalu yaitu pada waktu Dewa Agung Putra dihadap oleh raja-raja lain di Bali sebagai rasa tunduk. Dewa Agung Putra. Diwujudkan sebagai lambang kebesaran kerajaan Klungkung.
Gambaran mengenai kebesaran kerajaan Klungkung kemudian menjadi inti dari Pralambang Bhasa Wewatekan. Penggambaran itu tidak terbatas pada satu segi saja tetapi bersifat menyeluruh, serta keraton Semarapura dan Dewa Agung Putra menduduki tempat yang sangat penting. Kerajaan lainnya di Bali bersama raja masing-masing digambarkan hanya apabila ada kaitannya dengan kebesaran kerjaan Klungkung. Dewa Agung di Klungkung menduduki posisi sentral.
Informasi yang diberikan sangat mendetail, mulai dari lingkungan keraton, jalan-jalan yang penuh dengan pohon-pohon, pakaian raja dan pembesarnya pada waktu menghadap dan seterusnya. Data mengenai keadaan sosiologis terutama kalangan menonjol, kalangan elite politik cukup selain data mengenai gaya hidup kaum istana yang juga menarik. Tidak ada digambarkan kehidupan rakyat biasa, sebab tujuan utama Ida I Dewa Agung Istri Kanya adalah menggambarkan kebesaran raja dan kerajaan Klungkung. Sifat raja sentris. dan keraton sentris menjadi ciri yang angat penting.
Segi lain yang tampak pada Pralambang Bhasa Wewatekan adalah masalah kronologis peristiwa yang digambarkan. Sumber pembanding yang sampai sekarang belum dapat diketemukan menjadi sebab mengapa urutan kejadian yang digambarkan di dalam Pralambang Bhasa Wewatekan sulit dipahami. Apabila peristiwa yang digambarkan dalam Pralambang Bhasa Wewatekan dianggap tidak kronologis, dapat dipahami sebab tujuan utama Ida I Dewa Agung Istri Kanya bukanlah menulis sejarah, tetapi menulis peristiwa yang dianggap penting. Disini tentu ada proses seleksi berdasarkan prinsip yaitu kepentingan si penulisnya.
Bagian penutup dari karangan Ida I Dewa Agung Istri Kanya terdapat kalimat: Pralambang iki pakardin ida dewathi, ida I dwagung Istri, putran ida maha raja dewata, ida i dewa agung gdhe putra kang ndewata ring belah pane aperang….. Artinya dalam terjemahan bebas adalah: Kekawin ini merupakan karya almarhum baginda raja Ida I Dewa Agung Istri, putri almarhum baginda raja Ida I Dewa Agung Gde Putra yang meninggal dalam perang di Belah Pane
Bagian ini sudah jelas bukan merupakan tulisan Ida IDewa Agung Istri Kanya, dan pasti ditulis oleh oranglain. Masalah yang belum mendapat penjelasan adalah kapat Pralambang Bhasa Wewatekan menggunakan bahasa jawa kuna, bahasa yang sudah biasa digunakan dalam menulis sebuah karangan.
Di dalam Pralambang Bhasa Wewatekan hasil karya Ida I Dewa Agung Istri Kanya dinyatakan bahwa penulis merasa sedih pada waktu menyaksikan pembakaran jenazah ayahnya, yaitu Dewa Agung Putra Kusamba. Dewa Agung Putra Kusamba gugur di dalam pertempuran melawan Taman Bali pada tahun1809. Apabila jenazah Dewa Agung Putra Kusamba langsung dibakar pada waktu itu dan perasaan sedih Ida I Dewa Agung Istri Kanya juga ditulis pada waktu itu atau tidak lama setelah itu, maka berarti Pralambang Bhasa Wewatekan mulai ditulis sekitar tahun 1809. Masalah selanjutnya menjadi semakin sulit karena peristiwa sejarah yang lain yang juga digambarkan di dalamnya terjadi jauh setelah tahun itu. Perang Kusamba yang digambarkan di dalam bentuk kekawai sudah jelas terjadi pada tahun 1849. Iniberarti ada rentangan waktu antara tahun 1809-1849.
Dalam kurun waktu antara tahun 1809 dan 1849 terjadi sejumlah peristiwa penting. Peristiwa itu antara lain perjanjian dalam berbagai bentuk antara kerajaan Klungkung dengan kerajaan lain di Bali dan dengan pemerintah kolonial Belanda. Sebagian peristiwa ini juga mendapat perhatian dalam Pralambang Bhasa Wewatekan.
Apabila Perang Kusamba terjadi pada tahun 1849, semestinya Pralambang Bhasa Wewatekan ditulis setelah tahun itu. Apabila dugaan mengenai awal penulisan Pralambang Bhasa Wewatekan ditetapkan tahun 1809, dan penulisan terakhir terjadi pada tahun 1848, maka boleh diduga bahwa tulisan itu tidak diselesaikan dalam waktu yang
Bersamaan, Ada kemungkinan bahwa Pralambang Bhasa Wewatekan itu ditulis secara berkelanjutan mulai tahun 1809 dan diakhiri setelah tahun 1850 yaitu setelah Dewa Agung Putra meninggal, dugaan ini semakin kuat setelah memperhatikan secara lebih lanjut isi Pralambang Bhasa Weatekan itu. Bagian akhir dari karangan itu sudah jelas ditulis oleh penulis lain sebagai tambahan. Penambahan dan pengurang sebuah karya sastra termasuk babad memang umum terjadi.
Sampai di sini ternyata belum dapat diperoleh gambaran yang memadai mengenai Pralambang Bhasa Wewatekan yang sesungguhnya sangat penting bagi penelitian sejarah Bali. Akan tetapi karya sastra kakawin yang telah digubah itu memberikan isyarat kepada generasi sekarang bahwa. Ida I Dewa Agung Istri Kanya dapat dikatakan seorang wanita rakawi yang sangat langka pada zamannya.